Saya menduga keras sekitar lima dari 10 lelaki yang berdarah Pidie mempunyai naluri bisnis yang tajam. Jika kita telusuri pusat pertokoan di hampir seluruh tanah Serambi Mekkah ini, kemudian kita wawancarai para pedagangnya – dengan tidak memasukan kaum Tionghoa – kita akan menjumpai sekitar 60 sampai 70 persen dari mereka itu adalah berdarah Pidie.
Dengan kata lain 6 hingga 7 dari usahawan di Aceh adalah orang-orang yang berdarah Pidie. Memang, belum ada studi lengkap tentang pedagang Pidie. Masih merupakan tanda tanya besar bagi sebagian rakyat Aceh menyangkut etos Pidie ini: apa latar budaya, sistem nilai, sistem kekeluargaan dan falsafah, sehingga mereka lebih menyukai berbisnis daripada menjadi pegawai negeri atau buruh umpamanya.
Seorang Humas salah satu perusahaan raksasa di Lhokseumawe, menjumpai sekitar 60 persen pedagang di Batu Phat adalah orang Pidie. Ia merasa bangga dan senang akan sifat ini. “Sebab mereka, tidak terlalu bergantung untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Lhokseumawe,” kata pejabat Humas tersebut. Ada yang berpendapat atau berasumsi, etos dagang orang Pidie, disebabkan darah dagang mereka telah ada sejak lahir, atau karena sifat familisme yang tinggi, disertai ketekunan, keuletaan dan lebih fleksibel. Ironisnya, sebagian dari mereka hanya berpendidikan rendahan saja, seperti SD dan SMP. Melihat prestasi masyarakat Pidie dalam menggapai keberhaslan ekonominya, maka patut bagi kita untuk menelaah kisi kunci rahasia dari etos dagang itu.
Jiwa Bisnis
Hasil observasi
saya pada beberapa orang Pidie, terungkap beberapa tabir yang menyangkut
pembentukan watak dan jiwa bisnis
mereka. Dari observasi tersebut saya berasumsi:
Pertama, pembentukan
watak dan jiwa bisnis orang Pidie telah terbentuk sejak dini. Beberapa kasus di
bawah ini, yang saya temukan dalam observasi tersebut, dapat dijadikan pijakan.
Anak sekolah dasar di desa Tiro mencoba mencari penghasilan untuk jajan sekolah
dengan cara memilih buah melinjo. Sambil menuju sekolah, si anak tadi menjual
melinjonya, dengan memperoleh uang 100-400 rupiah sehari. Secara tidak sadar,
orang tua telah menempuh salah satu proses pendidikan yang terbaik yaitu
mengajarkan anaknya untuk mandiri. Contoh lainnya, dua orang anak usia sekolah
dasar, menghimpun modal untuk memperdagangkan buah pepaya (putek). Ambisi
mereka jelas untuk mencari uang dan belajar bisnis. Kemiskinan orang tua mereka
bukanlah hambatan, malah menjadi pendorong bagi mereka. Namun usaha perkongsian
mereka terputus ditengah jalan. Tapi jiwa bisnis mereka tetap melekat dalam
benak dan nalurinya.
Kedua,
pembentukan jiwa bisnis mereka dimulai dari rumah tangga. Kasus yang paling
menonjol yang saya temui ialah kisah seorang
Pidie yang menyewa toko di Medan. Ia bekerja pada ayahnya, dan digaji
seperti pekerja lainnya. Metode ini sama dan sebangun dengan caranya
orang-orang Tionghoa. Kebiasaan ini ternyata dapat membentuk jiwa dan kemauan
serta mendapat keahlian dan kiat-kiat dari seni mengelola ladang bisnis.
Ketiga, cemburu
dan malu kepada teman. Kebiasaan pemuda-pemuda Pidie adalah duduk-duduk di bale
dan meunasah. Tempat ini, dijadikan sebagai ajang diskusi tentang siapa-siapa
yang sukses dalam bisnis dan bagaimana mereka mencapai kesuksesan tersebut. Melihat
kesuksesan teman atau orang sekampung, si Pidie yang belum sukses tergugah dan
terdorong.serta terus bertanya mengapa mereka bisa sukses berbisnis ? Kenapa
saya tidak?. Si Pidie yang belum sukses mencoba menghimpun informasi dan
kekuatan. Yang terlihat di depannya hanyalah kesuksesan. Ia mencari negeri
harapan. Mereka sering bertujuan ke Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, dan
berbagai pusat perdagangan di sekitar bumi Iskandar Muda ini. Sama
siapa ia dapat tinggal di negeri harapan ?. Dimana ia bisa bekerja untuk tahap
pertama? Adalah dua pertanyaan mendasar yang harus ia menjawab sebelum
ia melangkah. Ternyata, pengaruh familisme memang sangat menentukan tahap-tahap
awal untuk mendapat kesuksesan menjadi usahawan di negeri harapan (rantau).
Ada
kecenderungan dari pemuda asal Pidie yang belum sukses di rantau merasa “malu”
pulang ke desanya. Kondisi psikologis ini, mendesak si Pidie yang belum sukses
untuk tetap bertahan di negeri rantau. Rasa bangga pun datang ketika sukses. Metode
dan kiat rahasia sukses diinformasikan kepada famili dan teman sekampung.
Tujuannya untuk mendorong si pemuda kampung untuk ikut meraih kesuksesan.
Pertolongan pun ditawarkan.
Keempat,
merantau adalah bagian dari jiwa masyarakat Pidie. Lloyd E Shefsky, penulis
berkebangsaan Amerika mengeluarkan suatu stetement bahwa berimigrasi adalah pintu
gerbang menuju usahawan. Untuk membuktikan pendapatnya, ia memaparkan data,
dimana dalam periode 1982-1987 jumlah usaha kecil yang dimiliki orang
Asia-Pasifik American meningkat sebesar 87 %. Sebagian besar pemiliknya adalah
mereka-mereka yang baru datang ke Amerika. Literatur lain menyebutkan, kini di
Amerika terdapat sekitar 2 juta orang Korea. Rasa nasionalisme yang tinggi
antara sesama Korea merupakan faktor utama yang menyebabkan mereka bisa sukses
dalam berbisnis. Orang Korea yang baru datang ke negeri Paman Sam, biasanya
ditampung dan diinformasikan tentang sektor-sektor bisnis mana yang basah dan
patut mereka geluti.
Kisah sukses
Roberto Guizueta, bekas direktur pimpinan perusahaan raksasa Coca-cola, juga
membuktikan, bahwa awal kesuksesan adalah merantau atau hijrah. Beliau berdarah
Kuba, dan merantau ke Amerika. Ia pernah menjadi top pimpinan Coca cola dan
memperbesar perusahaan itu dengan terobosan strateginya yang dikenal dengan
“Mega Strategy”. Kini kabarnya perusahaan itu memperoleh 11 trilyun keuntungan.
Semangat mencontoh kesuksesan teman di rantau, maka sebagian dari pemuda Pidie
memutuskan untuk berpindah alias merantau. Dengan modal dengkul malah SD pun
tidak tamat, beberapa dari merka menuju negeri harapan. Sebaliknya, ambisi,
cita-cita dan kesadaran akan kondisi yang kurang menguntungkan, menjadi modal,
yang tak ternilai dari mereka untuk minggat. Malah beberapa diantara dari
mereka yang sudah berumah tangga, sang istri rela ditinggalkan oleh suaminya.
Jual cendol, cabe, surat kabar, pedagang kaki lima atau jenis dagangan lainnya,
seperti mencuci piring di kedai kopi bukan rintangan bagi mereka. Malah menjadi
landasan.
Kelima, berani
menanggung resiko rugi. Adalah suatu aksioma, di dalam setiap bidang bisnis
dimana setiap sukses-sukses besar dapat terjadi, kegagalan mendadak dan besar
pun bisa terjadi. Seorang Bisnisman
harus mampu memandang bahwa dibalik aktivitas bisnis, harus diperoleh
keuntungan besar. Yang mesti mereka pikirkan adalah keuntungan bukan kegagalan
atau kerugian. Jika yang terpikir adalah kegagalan, semangat melangkah untuk
berbisnis akan terteror, dan dramatis mengendor. Namun mencegah kerugian perlu
untuk tidak dikesampingkan.
Seandainya
Muammar Qhadafi takut dihukum mati jika ia gagal melakukan kudeta di Libya, ia
tidak akan melakukan kudeta itu. Tapi yang terpikir olehnya adalah kursi
presiden, ada dibalik kudeta yang penuh resiko itu. Orang Pidie yang berambisi
sukses, walau hanya punya sepetak, dua petak tanah dikampungnya, berani menjual
tanah tersebut untuk dijadikan modal usaha, seperti untuk menyewa toko sebagai
tempat foto copy, menjual nasi atau sebagai tempat warung kopi adalah beberapa
fakta yang saya temui.
Malah lebih
ngeri lagi, seorang eksportir pinang yang bermukim di Medan, ingin merubah
rumahnya menjadi ladang jemur usaha pinangnya. Ia tak takut rugi, ia mengatakan
pada saya bahwa ia siap untuk rugi. Jika kerugian itu menimpanya, ia tidak
segan-segan untuk menjadi pedagang kaki lima. Pekerjaan yang pernah ia geluti.
Watak dan sifat
orang Pidie lainnya adalah sangat telaten dalam pengeluaran, ramah pada
pembeli, tabah, berambisi untuk lebih maju dan sangat persuasif kepada pembeli.
Ketelatenan dalam pengeluaran membuat mereka lebih hemat. Tetapi banyak orang
menyangka hemat ini sama dengan kikir, padahal sangatlah berbeda. Hemat berarti ketepatan mengeluarkan uang
atau sesuatu yang bernilai sesuai dengan kebutuhan dan situasi. Sedangkan kikir
dapat berarti ketidakmauan mengeluarkan uang (sesuatu yang bernilai) sesuai
dengan kebutuhan. Sikap hemat, bukan kikir, merupakan jembatan emas untuk
menjadi usahawan. Betapa tidak, Jepang yang kecil, kini mampu menyandang
supremasi raksasa ekonomi dunia. Tahun lima puluhan keluarga-keluarga
Jepang ...... menysihkan hampir
25%........ penghasilannya bangsa Jepang
kabarnya, dipaksa untuk .........mengeluarkan sebagian dana masyarakat .....dan
ulasan angka-angka ......... menunjukkan Jepang dan Korea b........................... dunia.
Oleh: Hafasnudin
Kiriman : TA Sakti
Komentar