Langsung ke konten utama

TRADISI MASYARAKAT ACEH “WOT IE BU”, DI BULAN PUASA DAN PANJATAN DO’A IBU-IBU DALAM MENOLAK BALA WABAH COVID-19 DARI KABUPATEN PIDIE, ACEH

wot ie bu. foto nur nihayati

Tradisi Woet Ie Bu Peudah sudah ada sejak zaman kesultanan Aceh Darussalam dan masih bertahan sampai dengan masa sekarang. Proses pembuatan makanan tradisional ini sangatlah kompleks, mulai dari proses pengumpulan dan penjemuran bahan hingga ditumbuk untuk dihaluskan. Sedangkan proses memasak Ie Bu Peudah memerlukan waktu kurang lebih dua jam. Makna tradisi ini di kalangan masyarakat Aceh antara lain sebagai penghubung silaturahmi dan juga berfungsi sebagai menu utama untuk berbuka puasa. Sedangkan upaya yang dilakukan untuk melestarikannya antara lain pemerintah di desa (Aceh) mengalokasikan dana khusus untuk tradisi ini yang berasal dari APBG, namun beberapa hal yang menjadi hambatan bagi kelangsungan tradisi ini antara lain, bahan pembuatannya yang sudah mulai sulit ditemukan dan kehadirannya yang hanya pada momen-momen tertentu saja
Bagi masyarakat kabupaten Pidie (Aceh), hampir semua kegiatan selama bulan Ramadhan berlangsung di Meunasah (Terkecuali di tahun 1441- 1442 H ini karena berkembangnya penyakit ta’eun/wabah). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Meunasah (Langgar di Aceh)  tersebut ialah: Tadarrus Al Qur’an, Khanduri Tamaddarus, buka puasa bersama, bayar fitrah dan Wot iebu.  Dan kegiatan yang terakhir inilah yang jadi pokok pembahasan penulis kali ini.
Ie bu artinya bubur beras. Wot, maksudnya memasak, Jadi “Wot Ie bu” berarti pekerjaan memasak bubur beras. Orang yang bertanggung jawab untuk terselenggaranya acara ini adalah Teungku Peutuwa atau Teungku Sagoe (Imam Kampung). Semua persiapan, yaitu  sejak dari mencari  juru masak, menyediakan bahan dan lain-lain diurus Teungku Sagoe.
Bagi juru masak bubur diberi ongkos menurut ukuran setempat. Sumber ongkos itu, bagi desa yang telah maju punya kas tersendiri, misalnya sepetak tanah sawah yang disebut “Umong Ie bu” Tapi bagi gampong di pedalaman,  biasanya diambil dari kumpulan fitrah yang belum dibagi bagian senif senifnya. Banyak ongkos 20 bambu (takaran di Aceh). Jumlah itulah yang berlaku sejak zaman dahulu. Tapi dewasa ini telah meningkat dari 24 s/d 32 bambu.
Dewasa ini untuk mencari seorang juru masak Ie bu pun sukar Seminggu sebelum tibanya bulan puasa, dapur Wot Ie bu telah selesai dibuat dari tanah liat. Dan di tempatkan di salah satu sudut Meunasah (di tanah). Perlengkapan dapur yang lain, yaitu aweuek (iros) yang bertangkai panjang, beulangong beusou (kuala besar dari besi), sandeng (rak) dan sebuah sumbu penghancur beras. Sebagai bahan bakar untuk masak Ie bu adalah uram trieng (pangkal bambu kering).
Biasanya pada hari kedua masuk bulan Ramadhan, pekerjaan “Wot Ie bu” dimulai, dan baru berakhir sampai sehari atau dua sebelum habis bulan puasa. Setiap sore sekitar jam 15 Wib.,  juru masak bubur mulai bekerja. Dia mengambil beberapa bambu beras, kelapa dan bahan lainnya dari rumah Teungku Peutua Meunasah. Jumlah bahan yang diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk desa setempat.
 
 
 
KHANDURI IE BU
Sebagaimana telah penulis jelaskan, bahwa sumber utama perlengkapan Ie bu berasal ”dari hasil panen padi dari umong Ie bu yang terdapat disemua Meunasah di Aceh, kecuali sebagian  daerah yang tidak mempunyai tradisi  itu. Tapi selain itu, masyarakat juga memberikan perlengkapan bahan iebu. Pemberian masyarakat itu disebut “Khanduri Ie bu”. Bahan iebu sumbangan masyarakat ini biasanya lebih lengkap, seperti adanya daging ayam atau  udang. Pada sore itu, biasanya anak-anak lebih banyak yang mengambil Iebu kanji (bubur kanji) ke Meunasah.
Jenis-jenis Ie bu,
Jenisnya ada tiga macam, yaitu Ie bu biasa, Ie bu leumak dan Ie bu on kayei. Yang sangat populer dewasa ini adalah ie bu biasa. Ia mudah dimasak dan tidak membutuhkan modal banyak. Cukup hanya dengan beras, santan kelapa, garam dan air bersih.
Jenis kedua adalah ie bu leumak (lemak). Perlu banyak modal baginya. Diantara bahan pokok yaitu: minyak kelapa, kulit manis, bawang merah, serai, jahe, on teumeurui (daun pewangi), boh kaca kace (cengkeh). Dan sudah pasti pula beras, santan kelapa, air bersih merupakan bahan utama.
Cara memasaknya adalah seperti orang syra’h eungkot (tumis ikan). Minyak kelapa dan bawang  merah yang pertama dimasak. Kemudian baru santan dan beras. Sedang bahan-bahan lain baru dimasukkan dalam kuali setelah di bungkus dalam iniem U (upih kelapa).
Adakalanya dimasak seperti orang menumis daging, yaitu dengan menggiling semua bahannya. Jenis ie bu yang hampir sama dengan ie bu leumak adalah ie bu kanji. Bahan tambahannya hanyalah salah satu dari hal berikut ini, yaitu baik daging sapi, daging itik, ayam jago, kepiting ataupun udang. Yang ketiga adalah di sebut ie bu on kayei (bubur daun kayu). Dewasa ini sudah agak jarang dipraktekkan orang.  Ie bu on kayei tidak menggunakan santan kelapa. Bahannya adalah beras, air bersih dan 44 macam daun kayu. Dalam bahasa Aceh disebut “on kayei peut ploh peut”. Sebutan di kabupaten Aceh Besar:  Ie Bu Peudah. 
Menurut penuturan orang-orang tua khasiat dari ie bu jenis ini besar sekali, terutama untuk menjaga kesehatan alat pencernaan selama berpuasa. Perut tetap sehat dan tidak gembung (Pruet rheng). Dan orang yarig sering minum ie bu on kayei phisiknya kuat dan bersemangat. Diantara daun kayu yang 44 jenis itu; ialah : on (daun)  rancong buloh, on tungkat Ali, on sirapat, on sikuat, on me tanoh, capli buta (cabai hutan), kunyit, serai, on teumeurui, on trong, dan lain-Iain.
Bagi pembaca yang ingin mengenal ke 44 jenis daun kayu itu dapat ditanyakan pada orang orang tua di Aceh. Sebulan sebelum tibanya bulan Puasa,  Teungku Peutua Meunasah telah bekerja mengumpulkan semua daun kayu tersebut. Setelah kering daun 44 itu ditumbuk menjadi tepung (halus).
Fungsi Ie Bu
Menurut keterangan yang penulis kumpulkan, bahwa istiadat Wot Ie Bu ini telah berlangsung lama di Aceh, terutama di kabupaten Pidie. Fungsinya dua macam. Pertama sebagai minuman  segar mereka yang buka puasa di rumah. Kedua adalah sebagai minuman pelengkap bagi kaum muslimin (orang laki laki) yang pada umumnya buka puasa di Meunasah.
Ie bu yang di bawa pulang kerumah, biasanya diambil oleh anak-anak. Bocah-bocah ini sangat gembira bila bulan puasa tiba, karena dapat mengambil ie bu ke Meuanasah. Di masa lalu, tima situek (timba upih pinang) dan tima nibong (upih nibung) merupakan tempat istimewa buat menampung bubur. Betapa gembiranya seorang cucu, apabila sebuah tima situek atau tima nibong selesai dibuat kakek/neneknya. Sungguh bahagia. Pernahkah  anda mengalaminya?.
Buat masa sekarang teko dan timba aluminium/timba kaleng telah menggantikan kedua macam timba tadi. Sejak kuali besar (beulangong beusoe) di naikkan kedapur, anak-anak tidak mau bercerai lagi dengan dapur Ie bu. Mereka sedia menunggu biar sampai maghrib.
Sisa Ie bu yang masih tinggal di Meunasah, selain bahan buka puasa bagi kaum muslimin, juga dapat dijadikan minuman bagi jamaah tarawih dan juga bagi mereka yang tadarrus Al Qur’an di Meunasah sepanjang bulan Ramadhan. Kalau dulu, selain dalam gelas banyak pula orang minum ie bu dalam tempurung kelapa (bruek U). Tempurung itu adalah bekas kukuran kelapa  untuk bahan Ie bu. Bagi orang yang bersahaja mereka membersihkan rambut/sabut tempurung. Tapi banyak sekali orang yang membiarkan tempurung itu berserabut sebagai adanya saja. Begitulah sederhananya kehidupan di desa tempo dulu. Dewasa ini bruek U sudah digantikan oleh cangkir plastik.
Demikianlah gambaran singkat istiadat Wot Ie Bu yang dipraktekkan masyarakat Aceh di Pidie sepanjang bulan Puasa. Melihat kepada manfaatnya, penulis berkesimpulan bahwa tradisi ini patut dilanjutkan sepanjang masa.
https://aceh.tribunnews.com/2021/09/11/tolak-bala-ibu-ibu-jalan-rukun-blang-asan-sigli-masak-ie-bu-dan-berdoa-bersama
*TA. SAKTI & Imadul Auwalin/Nusantara Fotografi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Kopi Khop dan Kuliner Mie Aceh di Puncak Gunung Geurute Aceh Jaya

Air Kopi Khop dan Kuliner Mie Aceh di puncak Gunung Geurute Aceh Jaya salah satu kuliner yang wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke Aceh.  Sebelum pandemi Virus Covid-19 ada, saya masih menyimpan memori indah di puncak gunung geurute aceh jaya. Disela-sela waktu perkuliahan saya bersama rekan sahabat bepergian ke lintas barat aceh tepatnya ke puncak gunung geurute. Berbekal sepeda motor tua si merah yang kerap menemani saya berkelana kesana-kemari saya berangkat dari kota banda aceh dengan menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam. So, keinginan berlibur saya terwujudkan dan sembari menenangkan fikiran yang bebannya sangat berat bagi saya seorang Mahasiswa Fakultas x dengan project matakuliah yang sangat tidak masuk akal. Oleh karena itu saya memutuskan untuk rehat di hari sabtu yang sedikit tenang dan cerah.  Kehidupan Sebelum adannya virus covid 19 memang sangat verygood bagi semua orang tidak terkecuali pada diri saya. Dengan bebasnya kita masih bisa berkelana kesana-kemari se

Minggu Menyapa Kekasih Dalam Balutan Rindu

Hari minggu merupakan hari yang paling bahagia dan menurut wikipedia , hari minggu adalah hari pertama dalam satu pekan. Kata minggu diambil dari bahasa portugis, Domingo (dari bahasa latin dies Dominicus) yang berarti “dia do Senhor”, atau “hati Tuhan kita”. Sedangkan menurut saya hari minggu adalah hari dimana menyapa kekasih dalam balutan rindu. Wihh seperti pelukis dan penyair diatas batu yang bersandar di ranting kayu yang berdiri kokoh diantara bebatuan. Itulah makna dan hakikat bagi saya si anak pekelana dan traveller nusantara. Mentari keluar dari ufuknya menyemangati hati yang sedang gundah gulana, dan memberikan harapan baru untuk terus melangkah dan berinteraksi di dalam dunia yang fana dan hampa seperti hatimu yang setiap saat menyakiti perasaanku. Kopi dan nasi 5000 rb membuat perut kosong ku kembali hidup. Imajinasi dan tekad untuk menulis kisah dimasa muda menusuk dalam sanubari relung hatiku. Dengan uang yang seadanya saya memutuskan untuk mengukir kisah itu di hari mi

Aceh's Historical Relations with Singapore

Nanggroe Aceh Darussalam has a close historical relationship with Singapore . In the past, Sang Nila Utama was the founder of the ancient Singapore kingdom. When Singapore was attacked by the Majapahit Kingdom and the Kingdom of Singapore lost, in the end the descendants of the Main Indigo named Parameswara founded the Kingdom of Malacca. After the malak kingdom began, Singapore became the territory of Malacca.  When Malacca was defeated by the Portuguese in 1511, the kingdom of Johor was established, the territory of Singapore then also became the territory of Johor. During the Aceh Darussalam Sultanate led by Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam Darmawangsa Tun Pangkat (1607-1636), the Aceh Sultanate with reinforcements from the Ottoman Turkish fleet conquered the territory of Johor and liberated the Malay lands from Portuguese clutches. After the Portuguese colonists were displaced, the territory of Singapore and Batu Puteh Island, located at the meeting point of the Singapore Strait w