Sungguh!
Nyaris tak ada yang menyangka, bahwa pada suatu hari ia akan menjadi seorang
menteri dari sebuah negara besar, yakni Menteri Negara Hak Asasi Manusia (HAM)
Negara Republik Indonesia. Apalagi mengingat, jabatan menteri termasuklah
“anugerah” teramat langka bagi orang Aceh. Coba Anda hitung saja, berapa
gelintir orang Aceh telah menjadi menteri sejak Republik Indonesia merdeka pada
17 Agustus 1945. Namun begitulah, ia telah berkiprah sebagai Menteri Negara HAM
pada era pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Allah Swt telah
mentakdirkan nasib meutuah (mujur) bagi anak desa ini. Sebelumnya saya
membuat tulisan ini bukan untuk menjiplak apa yang sudah di terbitkan
oleh https://tambeh.wordpress.com/2011/08/23/sang-mutivator-itu-telah-tiada/.
Akan tetapi tulisan ini sebagai ingatan untuk kita semua bahwa bangsa aceh
mempunyai tokoh yang luar biasa untuk kita kenang dan melanjutkan seperti yang
telah tokoh kerjakan pada masanya. dan saya telah mendapatkan izin untuk
mempublikasi ulang di internet oleh bapak TA Sakti.
Nyan Do’a Ma Bandum (itu doa ibu semua)
Kampung
kami boleh dikata bertetangga- hanya diselangi 8 petak sawah di “Lhok Bileh”-,
saya di Bucue dan dia di Lameue. Sebagai murid SD kelas 6 di Sekolah Dasar – SD
Lameue, saya telah mengenalnya ketika itu. Orang-orang memanggilnya “Pak
Ballah”. Bagi masyarakat desa, seorang guru dipandang mulia, karena itu banyak
orang mengenalnya; termasuk saya. Saat itu (tahun 1966) ia memang seorang guru
di SD Gampong Langga, kecamatan Sakti, Pidie, di sebuah desa sekitar 3 km lebih
pelosok lagi dari sekolah saya yang terletak di pinggir ‘jalan kabupaten’. Begitulah,
kadang-kadang saya sempat melihatnya, ketika ia melintas dengan “Geuritan Angen
Inong” (sepeda buat perempuan) di jalan yang berada di depan sekolah saya.
Kejadian itu tak terbayang lagi di benak saya hari ini, karena peristiwa itu
sudah 45 tahun berlalu; dan pula banyak
guru yang hilir-mudik dari Kota Bakti ke arah Garot saat itu. Namun ada satu
kejadian yang takkan terlupakan sepanjang hayat.
Ketika
itu sedang musim hujan, akibatnya semua jalan ke kampung-kampung berkeadaan
becek. Bila sedang demikian, orang-orang terpaksa melangkah di jalan berlumpur
atau jika beruntung dapat
bertatih-tatih pada batang pinang atau bambu yang diatur (dirangkai) orang di
sepanjang jalan. Bila bepergian, orang-orang hanya dapat jalan kaki, tak
mungkin bersepeda, Begitu pula bila menuju Gampong Langga.
Sempat
saya saksikan sendiri di suatu pagi, Pak Ballah bersama temannya “Pak Lateh”
sedang bersiap-siap berangkat ke tempat tugas mereka di Gampong Langga. Mula-mula
“Geuritan Angen Inong” disandarkan pada dinding bambu Kedai Kopi Bang Cut Amat
Lameue.
Lalu, baju putih yang berlengan panjang dilipat hingga ke siku, kemudian berjongkok buat melipat kedua ujung celana panjang sampai ke lutut (bahasa Aceh: geusilak pha luweue) agar tak terkena lumpur di jalan, sementara sepatu dijinjing angan kanan, sedangkan buku dikepit (geugapiet lam gitiek) pada ketiak kiri. Dalam keadaan demikian, berangkatlah kedua mereka ke SD Gampong Langga sejauh 3 km lebih.
Peristiwa
pada pagi itu masih membekas dalam ingatan saya, walaupun sudah 45 tahun lebih
berlalu. Sewaktu saya masuk Sekolah Menengah Islam (SMI) Kota Bakti tahun 1966;
kami “bertemu” lagi lantaran searah perjalanan (Aceh: saho jak tan sapeue
buet!). Karena SMI belum punya gedung sendiri, saya belajar digedung SMP Negeri
Kota Bakti.
Saat
itu Pak Ballah sedang mengikuti Kursus KGA (Kursus Guru Atas) selama 3 bulan di
Kota Bakti. Selama itu, kadang-kadang saya melihatnya melintas – masih dengan
Geuritan Angen Inong dan tetap berbaju putih lengan panjang - di jalan di depan
sekolah saya. Ketika kursus berakhir, terdengar kabar, bahwa Pak Ballah
mendapat juara satu dengan ‘punten’/nilai 10.
Sebagai
hadiahnya, ia “dipeusikula lom”(disekolahkan lagi dengan beasiswa) ke Banda
Aceh. Demikian desas-desus yang tersiar; dan masyarakat pun mulai kagum kepada
Pak Ballah sejak saat itu, termasuk diri saya. Secara pribadi, kami belum
saling kenal ketika itu.
Setelah
kuliah ke Banda Aceh, cukup lama juga saya tak menjumpai lagi sosok itu.
Barulah pada saat saya kelas 2 SMA Negeri Sigli ia tampil di kampung saya.
Ketika itu, ia sebagai salah seorang pimpinan “Ikatan Pemuda-Mahasiswa Sakti” (IPM-Sakti),
yang sedang mengumpulkan dana untuk Pembangunan Asrama Mahasiswa Kecamatan
Sakti di Banda Aceh.
Ceramah
‘Ramadhan’ yang digelar para mahasiswa pada malam hari selepas shalat tarawih,
cukup beragam. Namun, menurut penilaian saya ketika itu, ceramah yang
disampaikan Pak Ballah yang paling mempengaruhi massa. Vokal suara, mimik dan
penampilannya cukup menawan. Walaupun bukan mahasiswa, ketika kelas 3 SMAN
Sigli (tahun 1974), saya telah menggabungkan diri dengan para mahasiswa yang
pulang dari Banda Aceh pada bulan puasa buat mengumpulkan dana pembangunan
asrama itu.
Sosok Pak Ballah tetap jadi panutan ketika saya sebagai seorang mahasiswa, yang ketika itu ia sudah jadi tokoh mahasiswa dengan nama panggilan Hasballah MS. Tidak semua kegiatan Hasballah MS sanggup saya ikuti, hanya bidang ‘karang-mengaranglah’ yang hendak saya dalami. Setiap karangannya pada koran dan majalah, saya perhatikan dengan seksama. Salah satu tulisannya di “Atjeh Post” pernah saya simpan bertahun-tahun.
Lama
kelamaan, saya pun sudah mampu menulis. Dimulai dengan judul “Pungguk Yang
Malang” yang dimuat Harian “Waspada”-Medan tahun 1979; berupa dongeng yang saya
sadur dari Hikayat Kisason Hiyawan yang aslinya bersyair dalam bahasa Aceh. Setelah itu, bermacam karangan saya seperti cae Aceh, “cerpen”, berita,
laporan dan tulisan ‘ilmiah populer’ telah dimuat dalam beberapa media-massa
seperti suratkabar “Peristiwa”, majalah “Santunan”, “Gema Ar-Raniry”, Bulletin
Mahasiswa “Peunawa” dan “KERN” yang kesemuanya terbit di Banda Aceh serta
Harian ‘Waspada’ Medan.
Akibat
sudah dikenal, akhirnya saya terpilih mewakili mahasiswa Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat(FHPM) Unsyiah pada acara Pendidikan Pers Mahasiswa yang
diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi(FE) Unsyiah pada 2-4 April
1981 di FE Unsyiah, Banda Aceh.
Para
narasumber pada acara ‘Pendidikan Pers Mahasiswa perdana’ di Kampus Darussalam
yang masih saya ingat adalah Sjamsul Kahar, Hasballah MS, T.Syarief Alamuddin
dan Barlian AW. Pemateri hari kedua adalah Hasballah MS. Pada saat giliran
dialog dia melontarkan ‘bom siasat’ yang memeranjatkan saya. Bahwa “siapa yang
tidak bertanya berarti mati sebelum mati!”. Pernyataan itu membuat saya
kalangkabut dan serba-salah. Saya tentu betul-betul merasa malu bila tak
bertanya, sebab kami sudah lama saling kenal.
Padahal
sebelumnya, tak pernah satu kali pun saya mengajukan pertanyaan pada
diskusi-diskusi kuliah yang ketika itu saya sudah duduk di tingkat IV. Walaupun
saat itu, bermacam karangan saya sudah tersebar di sejumlah media, namun buat
bicara di depan khalayak nilai saya masih nol besar. Akibat ditran (diterjang) ‘bom
siasat’ itu terpaksalah saya memberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan,
walaupun dengan rasa cemas dan gemetaran. Sejak hari “naas” itu, saya pun
menjadi orang yang tidak begitu canggung lagi dalam setiap diskusi.
Hati Seorang Ibu
Selama
8 setengah tahun di awal pengangkatan sebagai staf pengajar di Unsyiah, saya
bersama keluarga tinggal di dua kamar dari sebuah “Rumoh Kost” yang bernama
“Rumoh Blang” di Jl. Ar-Raniry, Lr.Bakti no.3 Kampus Darussalam. Sekarang rumah
itu menjadi Rumah Anak Yatim Tsunami milik Yayasan Habibie Centre. Rumah
tersebut milik Drs. Hasballah, MS, M.Pd.
Di
sampingnya adalah rumah “Kak Nur”, yakni adik seayah Hasballah MS. Syahkubandi,
yakni ibu kandung Pak Hasbalah seringkali berada di rumah itu.Sewaktu datang
dari kampung, selain menginap di rumah anaknya di Komplek Sederhana Kopelma
Darussalam, beliau sering pula bermalam di rumah Kak Nur.
Ibu
Syahkubandi, yang saya panggil “Mak” berkali-kali pula mampir ke tempat kost
saya. Beliau senang bercerita berbagai hal, terutama petuah-petuah kehidupan.
Diantara “bekal hidup” yang sempat saya catat tanggal 7 Juli 1994 adalah dua
macam do’a yang berguna dalam mengharungi kehidupan yang penuh cobaan. Isi
catatan saya saat itu berbunyi sebagai berikut:
1. “Do’a Sangga Mara”
Bismillahirrahmanirrahim
إِلَى
حَضْرَةِ النَّبِيِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَّ
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ وَبِكَلِمَتِكَ تَمَّتِى كُلِّهَا مِلْهِ اِحْمًا وَمِنْ دَاءٍ
أَكْبَرْ فِى النَّفْسِ وَالرُّوْحِ وَالدَّمِّ وَالَّحْمِ وَالْعِلْمِ وَالْجُرُوْدِ
وَالْعُرُوْكِ يَا رِيْحٌ اِحْمًا خَرْخِ عَنْكَ بِالْحَقِّ اَسْمَاءٍ نمات كُلِّهَا
مِنْ شَرٍّ مَا خَلَقَ وَمِنْ شَرٍّ دَإِ دامَاتٍ من صَلَّى الله عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
2. “Do’a Pulang Sakat”
Bismillahirrahmanirrahim
إِلَى
حَضْرَةِ النَّبِيِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَّ
اَللَّهُمَّ
يَا مُحَمَّدُ يَا عَدِيْدُ يَا قَلَمُ يَا جَلَلُ بِكَثْرَةِ يَا الله يَا مُحَمَّدُ
عَلَيْهِ السَّلاَمِ شَافِعٌ قَلَمٌ بِعِدَّةِ يَا الله تَعَالَى
Beureukat
Muhammad, beureukat Musa Ibnu Imran, Ibnu Suratun
عِلْمٌ
شَيْءٌ لَهُ رِجَالٌ لَهُ عَفْوُكَ يَا الله شفعة كامي رَسُوْلُ الله يَا جِيْبْرِيْل
يَا مِيْكَائِل عَلَيْهِ السَّلاَمِ يَا حَيٌّ
يَا قَيُّوْمٌ يَا الله بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
He
ya Tuhanku, nyang deungki khianat; meuwoe laknat keudroe!!!
Catatan: Do’a Sangga Mara & Pulang Sakat neubrile
Mak, Kamis, 27 Muharram 1415/7-7-1994.
Wasiet: Beu ulon jok keu Pak Hasballah MS
RUMOH BLANG DARUSSALAM-BANDA ACEH
Begitulah
suara hati seorang ibu, yang mendambakan sibijeh mata/anaknya selamat dalam menempuh
tantangan hidup; hingga bahagia di dunia dan akhirat.
Pernah
suatu kali secara lamhsung saya sampaikan perihal “wasiat do’a” ini kepada Dr.
Hasballah M.Saad, MA – setelah beliau pensiun dari Menteri Negara HAM -, namun
terasa kurang mendapat respon. Sebab itulah, saya ulangi lagi melalui sumbangan
tulisan buat buku biografi beliau ini. Mungkin akibat ‘terlalu sibuk’, pada
saat masih menjabat Menteri Negara HAM RI, tak pernah sekali pun saya ketemu
beliau, walaupun saya pernah berangan-angan agar sempat berjumpa, biar sekedar
bersalaman saja!.
Di
suatu subuh tahun 1995 keponakan isterinya datang tergesa-gesa ke rumah Kak Nur
guna menjumpai Mak Syahkubandi. Berita serius yang hendak segera disampaikan,
bahwa sekitar jam 23.00 malam tadi Pakciknya diajak pergi oleh seseorang yang
tidak dikenalnya. Dan sampai sepagi itu belum kembali.
Suasana
politik di Aceh saat itu kurang nyaman. Penculikan oleh Orang Tak Dikenal (OTK)
kadangkala terbaca di media lokal.Akibatnya, berita tadi cukup mengejutkan
semua orang yang mendengarnya, lebih-lebih bagi Ibunda Syahkubandi.
Selain membaca berbagai do’a memohon keselamatan kepada Allah, beliau pun sempat bernazar, bahwa akan sembahyang hajat dua rakaat di makam Teungku Syiah Kuala.Dalam keadaan hati resah-gelisah, beliau pun pulang ke rumah anaknya di Jalan Bayeuen no.27 itu.
Menjelang
siang, Pak Hasballah pulang. Syukur alhamdulillah!. Tadi malam, ternyata beliau
hanya diajak “makan-makan” oleh sahabat dekat yang sudah lama tak jumpa. Namun,
nazar sembahyang hajat (Aceh: meukaoy) yang sudah diucapkan tentu mesti
ditunaikan segera.
Besok
paginya, Bukhari yang tinggal bersama saya telah mengantarkan Mak Syahkubandi
ke komplek makam Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dengan sepeda motor Honda Cup 70
milik saya.
Itulah
gambaran kemuliaan hati seorang ibu. Belian selalu mengharapkan keberhasilan
hidup putranya. Dr.Hasballah M.Saad sendiri mengakui, bahwa apa yang telah
dicapainya sekarang adalah berkat do’a sang Ibunda Syahkubandi. Pengakuan ini
termuat dalam sebuah short message service (sms) yang beliau sampaikan kepada
saya; terkait draf awal buku biografi ini yang pernah saya baca. Sms itu selengkapnya
sebagai berikut: “Nye na neu baca tulisan ttg. Syahkubandi, lon ucapkan
teurimonggaseh. Nyan roh riwayat udep lon. Meu t’ie tu’ie, jra that, rab han
saho trok. Tapi alhamdulillah akhe jih jeut syit sikada droe lon, lagee uroe
nyoe. Nyan Do’a Ma bandum” (SMS Hasballah MS, 15-Jul-2008, 09:35:28).
Bale Tambeh
Darussalam,1-6-1431
5-5-2011
T.A. Sakti
*Cacatan:
Semula tulisan ini hendak diselipkan pada bagian Lampiran buku Otobiografi Dr.
Hasballah M. Saad, tetapi batal karena beliau keburu meninggal sebelum buku itu
diterbitkan!.
Alih:
Imadul Auwalin
Komentar