Dirgahayu Republik Indonesia Yang Sudah 75 Tahun: Kisah Pengasingan Tjut Nya’ Dhien di Sumedang, Jawa Barat
August 16 2020
Tanggal 6 Nopember yang lalu genap sudah 75 tahun ia beristirahat untuk selama-lamanya di tanah perbukitan Gunung Puyuh yang damai itu. Jauh dari sanak saudaranya, jauh dari kampung halamannya, jauh dari teman-teman seperjuangan yang sempat tercatat arti keperkasaannya, dan jauh dari orang-orang yang teramat dikasihaninya.
Dia
pergi dalam sepi. Namun semangat juangnya tak akan pernah terbawa serta.Ia
memang diasingkan ke kota kecil ini, setelah bertahun-tahun hidup di alam yang
amat keras, menghunus rencong dan bergerilya dari hutan ke hutan seraya meyakinkan
bahwa seorang wanita pun mampu melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab yang
paling berat sekalipun.
Memimpin
sendiri perang gerilya melawan penjajahan Belanda sekaligus menggantikan posisi
suaminya, Teuku Umar, setelah suami yang dikasihaninya ini gugur dalam
pertempuran tanggal 11 Februari 1899, delapan puluh empat tahun yang silam.
Cut
Nya’ Dhien, putri bangsawan yang lahir tahun 1848 di Kabupaten Aceh Besar ini
agaknya memang ditakdirkan untuk terbiasa menerima kenyataan hidup sebagai
keluarga pejuang. Mewarisi patriotisme ayahandanya Teuku Nanta Setia, Hulubalang
Mukim di Peukan Bada, suami pertamanya Teuku Syeh Ibrahim gugur terlebih dahulu
dalam sebuah pertempuran seru di Montasiek. Tjut Nya’ Dhien kemudian menikah
dengan Teuku Umar dan selama belasan tahun lamanya menyertai suaminya ini
memimpin perang Aceh yang terkenal itu.
Satu-satunya
anak yang diperolehnya dalam perkawinannya yang kedua tersebut, Tjut Gambang,
dipersunting pula oleh Teuku Mayet,
putra TeukuTjik Ditiro, seorang diantara
pahlawan Aceh lainnya.
Selanjutnya
kehidupan “Srikandi Aceh” ini lebih banyak dihiasi dengan cerita-cerita
kepahlawnan, terlibat dalam pertempuran demi pertempuran, kemudian didera oleh
perasaan hidup sebagai pejuang. Enam tahun lamanya ia melanjutkan perjuangan
almarhum suaminya, memimpin pasukan gerilya ke hutan-hutan belantara dan
menghasilkan pertempuran-pertempuran seperti halnya yang terjadi di Lampage,
Lampinang Moegoe dan sebagainya.
Sengaja
ditangkapkan. Sesungguhnya kondisi fisik Tjut Nya’ Dhien sudah hampir tak
memungkinkan untuk terlibat dalam pertempuran. Entah mengapa mungkin karena
gizi makanan yang tidak memadai selama bergerilya atau karena suatu penyakit,
kedua matanya merbun dan terancam kebutaan, sementara kesehatan tubuhnya jauh
merosot.
Berulang
kali teman temann terdekatnya mengusulkan agar ia beristirahat atau menyerah
saja ke pihak musuh. Mereka tak sampai hati melihat penderitaannya. Tetapi apa
jawaban wanita yang keras hati ini?
Dengan
tegas beliau menolak dan menganggap suatu kehinaanlah bila menyerah pada
“Khape”, kafir, yang telah membunuh serta menodai kehormatan anak negerinya. Ia
tak sedikitpun menggubris usul tersebut.
Dengan
sisa tenaga yang ada ia tetap hadir memimpin pertempuran-pertempuran, lari dari
sergapan serdadu Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih modern dan
dengan garang meneriakkan
“Perang
Kaphe, bek jigidong tanoh Aceh! Perangi kafir, jangan dipijaknya tanah Aceh.”
Namun
bagaimanapun juga, wanita perkasa ini telah teramat lelah untuk sebuah tugas
dan tanggung jawab besar. Kecuali tekad serta semangat yang kuat dengan
didasarkan keyakinan pada ridho Tuhan terhadap jalan yang ditempuhnya sebagai
muslimah teguh, hampir tak banyak lagi tenaga yang dimilikinya. Kesehatannya
merapuh. Di suatu hari di bulan Nopember 1905, Pang Laot, teman seperjuangannya
yang merasa tak sampai hati melihat penderitaannya, memberitahukan tempat
persembunyiannya Tjut Nya’ Dhien pada pasukan patrol Belanda.
Tanggal
6 Nopember 1905, ia disergap oleh pasukan Belanda yang dipimpin sendiri oleh
kapten Veltman dan Letnan van Vuuren di Rigaih, Meulaboh, Aceh Barat. Wanita
gagah berani ini tertangkap atau lebih tepat bila disebut sengaja ditangkapkan.Atas
perintah Jenderal van Daalen, Tjut Nya’ Dhien diasinkan ke kota Sumedang di
Jawa Barat. Kota kecil yang akhirnya mencatat hari-hari akhir seorang wanita
berhati baja ini.
Siapa
guru mengaji itu?
Tak banyak orang Sumedang yang
mengerti mengapa perempuan tua yang hampir buta total itu tiba-tiba berada di Kota
mereka. Bupati Sumedang waktu itu, Pangeran Aria Suriaatmadja, hanya memberitahukan
pada Mbak Soleha bahwa ia putri bangsawan Aceh. Karena itu ia harus dirawat
dengan sebaik-baiknya. Tak lebih.
“Orang Sumedang akhirnya memanggilnya Eyang
Prabu Aceh” tutur R.A.Bulkini, seorang yang dipandang amat paham dengan seluk
beluk dengan sejarah sumedang. Menurut penuturannya, walaupun ketika ia masih
bocah, namun kisah tentang kehadiran Tjut Nya’ Dhien di Kota Smedang cukup
menarik perhatiannya saat itu.
Orangtuanya
yang tinggal berdekatan dengan tempat kediamannya Tjut Nya’ Dhien sekitar
daerah Kauman, Sumedang. Menceritakan bahwa Eyang Prabu Aceh yang tak lain
adalah Tjut Nya’ Dhien tersebut amat dihormati oleh masyarakat sekitarnya.
Rambutnya
yang masih menghitam dalam usianya yang tua terpelihara panjang, tubuhnya
tampak cukup tinggi untuk ukuran wanita sekarang sementara wajahnya
memperlihatakan keteguhan hatinya yang luar biasa.
Ia
menempati sebuah rumah yang tak bnayak berbeda dengan rumah-rumah orang
Sumedang lainnya. Berpanggung dan dinding bambu pilihan. Dalam masa
perasingannya ini Tjut Nya’ Dhien lebih banyak melewatkan hari-harinya dengan
mengajarkan agama Islam serta mengadakan pengajian Al-Qur’an bagi masyarakat
sekitarnya yang masih mampu mengaji.
“Kepintarannya
menghapalkan ayat-ayat Al Qur’an kendati dengan keadaan mata yang tak bisa
melihat lagi benar-benar menimbulkan kekaguman sera rasa hormat masyakat Sumedang.”
Demikian Pak Bulkini.Tinggal bersama salah seorang anak angkatnya yang turut
bersamanya dari Aceh dan dikenal dengan Teungku Nanak oleh masyarakat Sumedang.
Tjut Nya’ Dhien tak pernah mau dikasihani walaupun baginya telah diperbantukan
Mak Soleha untuk merawatnya sehari-hari. Ia tetap berbelanja seorang diri ke
pasar dan melakukan kegiatan biasa rumah tangga seperti halnya ibu rumah tangga
lainnya.
Sepengetahuannya
orang-orang tua yang menceritakan pada anak-anaknya, Eyang Prabu Aceh memiliki
cukup banyak perhiasan untuk dijualnya bagi mencukupi kebutuhannya
sehari-sehari. Kadang-kadang orang tak
bersedia dibayar karena mereka tahu betapa besar jasanya mengajarkan agama pada
orang lain,” cerita pak Bulkini. Menurutnya, banyak masyarakat Sumedang menjadi
lebih paham agama Islam berkat ajarannya. Sementara kebenciannya terhadap
Belanda tetap mengental. “kata orang, bila sekali waktu ia bersonsongan dengan
serdadu Belanda di pasar, Eyang Prabu Aceh sengaja menabraknya secara kasar,”
lanjut Pak Bulkini.
Tiga
tahun menjalani masa pengasingannya di Sumedang, tepat tanggal dan bulan yang
sama dengan saat penangkapannya di Aceh dulu, Tjut Nya’ Dhien menutup kisah
hidupnya yang penuh suri tauladan itu.
Ia
meninggal dengan tenang di rumah yang selama tiga tahun ditempatinya bersama
anak angkatnya dan seorang ibu, Mak Soleha, yang setia merawatnya. Kaum
kerabatnya mengantarkan wanita tabah dan pemberani ini ke kompleks pemakaman
leluhur Sumedang di Gunung Puyuh, tak begitu jauh dari kediamannya.
Lama
setelah itu masyarakat Sumedang barulah mengetahui bahwa wanita yang dikenal
Eyang Prabu Aceh tersebut tidak lain dari Thut Nya’ Dhien, perempuan yang
menggemparkan Aceh itu. Peranannya dalam memperjuangkan kemerdekaan baru
diketahui masyarakat Sumedang belakangan hari,” ujar R.A.Bulkini.
Tak
ada yang mengetahui bagaimana perasaan wanita perkasa ini pada hari-hari
terakhir dalam hidupnya yang jauh dari sanak saudaranya. Siapa lagi orang
terdekatnya yang bisa bercerita tentang dirinya di Sumedang? Mak Soleha telah
lama meninggal dunia. Dan di rumah bersejarah itu, kini sudah tiga generasi
turunan Mak Soleha menghuninya. Bila ditanya pada penduduk yang tinggal di
sekitarnya dimana gerangan bekas rumah Tjut Nya’ Dhien, maaf… tak seorangpun
yang tahu. Mereka hanya tahu rumah Ceu Neng, cucu Mak Soleha almarhumah.
Sembari
duduk di tangga itu, seakan terbayang rasanya wanita berhati baja itu di bilik
tengah. Tujuhpuluh lima tahun yang lalu mungkin ia sedang duduk mengaji disitu.
Betapa tabahnya dia. * (Liestihana Mz)
TAK ADA YANG MENYANGKA DIALAH PEREMPUAN YANG
MENGGEMPARKAN ITU
(Sumber:
Majalah KARTINI – 237 Tahun 1983 halaman 44 – 45)
*Catatan
kemudian:
1.
Tertulis Teuku Mayet, putra Teuku Tjik Ditiro,, seharusnya Teungku
2.
Beberapa Nama tempat juga terjadi kesalahan ejaan seperti Lampinang, Lampage;
Seharusnya: Lam Pineueng, Lam Pageue, dan lain-lain.
3.
Begitu Besarnya Pengorbanan Cut Nyak Dhien bagi Agama, Bangsa dan Negeri
Beliau. Kita telah Berbuat Apa???!!!!.
-Bekas
Bale Tambeh, 25 Haji 1441 atau 25 Zulhijjah
1441 H bertepatan 15 Agustus 2020 M, pukul 04.30 wib.
-Penyalin
Majalah KARTINI: (T.A. Sakti)
-Alih:
Imadul Auwalin/Imadul Auwalin
Komentar