Langsung ke konten utama

Si Mata Biru di Lamno dan Dambaan Para Pemuda di Seluruh Nusantara


                                                                                                                    picture by @fredography


Mencari Si Mata Biru di Lamno

         AWAL 1985, muncul lagi dua laki-laki muda Portugis di Desa Lamno, ibu kota Kecamatan Jaya, Kabupalen Aceh Barat. Penduduk langsung bisa menduga apa tujuannya. Sebab hampir tiap tahun, desa kecil di Lembah Geureutee itu selalu dikunjungi orang-orang berkulit putih, bermata biru, yang mengaku datang dari Portugis.

        Semua dengan tujuan mencari orang Lamno bermata biru. Seperti yang datang sebelumnya, dua yang terakhir pun ternyata tidak berhasil bertemu si mata biru. Yang terjadi selalu sama. Begitu mendapat izin camat memasuki desa-desa, orang-orang terutama para gadisnya, langsung berhamburan menjauhkan diri.

        Kisah dua laki-]aki muda Portu¬gis itu diceritakan Camat Anwar Husin BA  kepada Kompas di kantornya awal Februari lalu. "Ini soal nasib. kalau Anda beruntung, bisa bertemu." katanya. Diakui, sekarang ini memang banyak penduduk Lamno terutama gadis-gadis yang memiliki mata biru.

        Isyarat Camat Anwar Husin itu, kecuali sudah merupakan izin memasuki desa-desa, juga sekaligus menumbuhkan harapan baru. Betapa tidak hari pertama di Lamno, pemilik rumah penginapan "Persinggahan," T. Sulaiman Rachman sudah mematahkan harapan." Omong kosong, di Lamno ini tidak ada keturunan Portugis, yang ada cuma pedang Portugis, yang satu dua masih disimpan penduduk sekarang ini," katanya.

        Menurut T. Sulaiman, pensiunan ABR1 dan mengaku berumur 65 tahun itu, penuturan orang-orang tua menyatakan, bahwa serombongan pelaut Portugis pernah terdampar di lembah Guereutte. Pelaut-pelaut itu diterima oleh raja-raja Aceh dan dibenarkan bermukim sementara di tepi pantai, agar mereka bisa memulihkan kesehatan dan memperbaiki kapalnya. "Mereka dijaga ketat dan tidak dibenarkan berhubungan dengan penduduk. Karena itu, manalah mungkin ada turunan Portugis di Lamno ini," katanya.

        Dari  kantor camat, pencarian pun segera dimulai. Camat Anwar Husin menyebutkan dua desa,  Lam me dan Ujong Sudheuen. Karena itu tidak perlu mengunjungi ke-48 desa di kecamatan itu. Bahkan tidak perlu meneliti setiap orang dari I9.500 jiwa penduduk kecamatan itu, yang tersebar pada wilayah seluas 620,40 kilometer persegi. Apalagi, 12 desa di antaranya masih belum bisa dijangkau kendaraan bermotor.

       Tetapi, di Lamme pencarian tidak berhasil. Satu-dua pendu¬duk yang berpapasan tidak memi¬liki ciri-ciri yang dicari. Warna kulit, profil dan postur adalah khas Aceh. Sama seperti di pesisir timur yang merupakan jumlah paling besar dari 2,6 juta pendu¬duk Aceh. 

       Yaitu warna kulit, profil dan postur yang mirip India dan Arab. Raut muka lonjong, mata dalam, dagu runcing dan hidung yang mancung serta warna kulit kehitam-hitaman. Nyaris percaya kata-kata T. Sulaiman Rachman, perlahan-lahan  jip dijalankan menuju Ujong Sudheuen di Kuala Daya, 15 kilometer barat Lamno, langsung di bibir pantai Samudera Hindia.

          Keuchik (kepala desa) Kuala Daya, Dahlan (42 tahun), adalah orang kedua setelah Camat Anwar Husin yang kembali membersitkan harapan. la langsung mengumpulkan 4-5 orang penduduk setempat, menjelaskan asal usul mereka. Di awal pembicaraan Keuchik Dahlan sudah menegaskan, khusus di kawasan Kuala Daya, nenek moyang mereka adalah orang Portugis. Maka berkisahlah Keuchik Dahlan dibantu A. Wahab Basri.

        (Kepala Mukim Lambeusoe) dan seorang pemuka masyarakat bernama Tgk. Haji Abdul Aziz yang sudah berumur 83 tahun. Lainnya manggut-manggut, dan anggukan makin dalam setiap kali Tgk. Abdul Aziz mengatakan mereka adalah turunan Portugis.

        Katanya, sebelum Kerajaan Aceh berdiri sekitar abad ke-15, di kawasan Kuala Daya sudah ada suatu;Kerajaan Portugal. Di situ perbauran terjadi antara orang-orang Portugis dengan penduduk setempat. Tetapi, melalui proses alamiah yang berlangsung berabad-abad kemudian, Kuala Daya diperintah Sultan Saladin Riayat Syah yang lalu dikenal sebagai Po Teumeureuhom Daya.

         Raja inilah yang kemudian mengembangkan agama Islam, sekaligus mengislamkan orang-orang Portugis. Salah satu yang diislamkan itu, konon bernama Pahlawan Syah yang kuburannya masih ada di Krueng Tunong.

        "Lalu, si mata birunya masih ada pak?".  Menanggapi  pertanyaan itu, Keuchik Dahlan langsung menyuruh panggil pemuda ber¬nama Abdullah, 20 tahun. Laki-laki muda bertubuh semampai dan mengaku tidak pernah mengikut pendidikan formal itu, muncul malu-malu. "Ayah saya juga masih bermata biru," katanya sambil mendekat. Tampak bola matanya memang berwarna biru. Namun hidungnya tidak terlalu mancung, sedangkan kulitnya sudah kekuning-kuningan. Rambut? "Ini sudah saya cat hitam. Aslinya merah seperti jagung sama seperti yang dilakukan Keuchik Dahlan dan Pak Mukim Basri," ujar Abdullah.

         Kompas mendekati Keuchik Dahlan dan berbisik," Boleh lihat gadis si mata biru?". Keuchik Dahlan manggut-manggut." Banyak memang, masih banyak jumlahnya. Tetapi, anak-anak boleh. Kalau yang sudah gadis payahlah. Soalnya mereke malu." jawabnya.

    Tetapi setelah menunggu sampai beberapa lama, anak-anak yang dijanjikan Keuchik Dahlan tak kunjung muncul. Agaknya, Keuchik Dahlan bisa membaca situasi. Maka sebelum Kompas meninggalkan Kuala Daya dia masih mencoba menghibur kekecewaan.

    "Kalau mau lihat, datanglah pada hari Raya Haji. Saat itu ada upacara Seumeuleueng. Semua penduduk akan berdatangan ke makam Po Teumeureuhom. Mulai dari anak-anak, orang tua dan tentu saja si gadis bermata biru." ujar Dahlan.

Alhasil, bertambah lagi orang-orang yang gagal mencari gadis bermata biru.


Jadi masih menjadi misteri si mata biru di lamno, apakah masih ada atau memang sudah tiada, tunggu kelanjutan besok ya. >

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aceh's forgotten political science roots!

To this day, the roots of political science, which is part of social science, are always taken from ancient Greece. Because of that, the names and works of ancient Greek philosophers of the 5th century BC (BC) such as Herodotus, Plato, Aristoteles are always the main references. Asian philosophers who are also considered the originators of political science are Confusius and Mensius as Chinese philosophers in the 4th century BC, while from Indonesia is Prapanca with his work Negarakertagama (see: Prof. Miriam Budiardjo, "Basics of Political Science", Publisher PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, page 5). The original title of the Negarakertagama manuscript was Desawarnana, meaning History of the Villages. Since it was rediscovered in a temple by the Dutch during an attack on one of the Balinese kingdoms in 1918, the old manuscript of Desawarnana was renamed Negarakertagama, meaning The Story of State Building. In the 1980s, I read the manuscript of Negarakertagama

Air Kopi Khop dan Kuliner Mie Aceh di Puncak Gunung Geurute Aceh Jaya

Air Kopi Khop dan Kuliner Mie Aceh di puncak Gunung Geurute Aceh Jaya salah satu kuliner yang wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke Aceh.  Sebelum pandemi Virus Covid-19 ada, saya masih menyimpan memori indah di puncak gunung geurute aceh jaya. Disela-sela waktu perkuliahan saya bersama rekan sahabat bepergian ke lintas barat aceh tepatnya ke puncak gunung geurute. Berbekal sepeda motor tua si merah yang kerap menemani saya berkelana kesana-kemari saya berangkat dari kota banda aceh dengan menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam. So, keinginan berlibur saya terwujudkan dan sembari menenangkan fikiran yang bebannya sangat berat bagi saya seorang Mahasiswa Fakultas x dengan project matakuliah yang sangat tidak masuk akal. Oleh karena itu saya memutuskan untuk rehat di hari sabtu yang sedikit tenang dan cerah.  Kehidupan Sebelum adannya virus covid 19 memang sangat verygood bagi semua orang tidak terkecuali pada diri saya. Dengan bebasnya kita masih bisa berkelana kesana-kemari se

Minggu Menyapa Kekasih Dalam Balutan Rindu

Hari minggu merupakan hari yang paling bahagia dan menurut wikipedia , hari minggu adalah hari pertama dalam satu pekan. Kata minggu diambil dari bahasa portugis, Domingo (dari bahasa latin dies Dominicus) yang berarti “dia do Senhor”, atau “hati Tuhan kita”. Sedangkan menurut saya hari minggu adalah hari dimana menyapa kekasih dalam balutan rindu. Wihh seperti pelukis dan penyair diatas batu yang bersandar di ranting kayu yang berdiri kokoh diantara bebatuan. Itulah makna dan hakikat bagi saya si anak pekelana dan traveller nusantara. Mentari keluar dari ufuknya menyemangati hati yang sedang gundah gulana, dan memberikan harapan baru untuk terus melangkah dan berinteraksi di dalam dunia yang fana dan hampa seperti hatimu yang setiap saat menyakiti perasaanku. Kopi dan nasi 5000 rb membuat perut kosong ku kembali hidup. Imajinasi dan tekad untuk menulis kisah dimasa muda menusuk dalam sanubari relung hatiku. Dengan uang yang seadanya saya memutuskan untuk mengukir kisah itu di hari mi